Siap Gak, Terkena Kutukan Matematika??
Beberapa minggu lalu gue habis baca buku anak yang judulnya “The Math Curse” (well, I’ve watched it on Youtube, technically..), dan sampai saat ini kesannya masih tersimpan dan masih terkagum-kagum. Buat yang gak tau (and I’m sure a lot of you actually do), The Math Curse itu seperti buku cerita anak-anak yang dari ilustrasi dan banyak halamannya bisa dibilang cocok dibacakan ke anak kelas 2 sampai 4 SD. Namun menariknya, orang dewasa pun bisa tertarik membaca buku ini.
Sedikit informasi tentang bukunya :
Judul : The Math Curse
Ciptaan : Jon Scieszka
Ilustrasi : Lane Smith
Sedikit informasi tentang bukunya :
Judul : The Math Curse
Ciptaan : Jon Scieszka
Ilustrasi : Lane Smith
Long story short,
The Math Curse bercerita tentang seorang anak perempuan yang pada Hari Senin pergi ke sekolah seperti biasanya, menerima pelajaran matematika dari gurunya. Bedanya, di hari itu sang ibu guru menceritakan bahwa semua yang kita alami, setiap detiknya, dari bangun sampai tidur lagi, semuanya bisa dilihat dari sudut pandang matematika. Semua kejadiannya bisa dianalisis dan apa saja bisa dihitung. Mendengar hal itu, si anak perempuan jadinya mbatin, ‘mana ada kayak yang gitu?’ Tapi dia tidak menanggapi apa-apa dan pulang ke rumah begitu rangkaian pelajarannya selesai. Esoknya, Hari Selasa, si anak perempuan terbangun dari tidurnya. Dia melihat jam dan betapa kagetnya dia karena dia terlambat bangun! Tanpa sadar si anak perempuan mulai menghitung sisa waktu yang dia punya, berapa waktu yang bisa dipakai untuk mandi, sarapan, dan perjalanan ke sekolah agar bisa sampai tanpa harus menanggung resiko terlambat.
The Math Curse bercerita tentang seorang anak perempuan yang pada Hari Senin pergi ke sekolah seperti biasanya, menerima pelajaran matematika dari gurunya. Bedanya, di hari itu sang ibu guru menceritakan bahwa semua yang kita alami, setiap detiknya, dari bangun sampai tidur lagi, semuanya bisa dilihat dari sudut pandang matematika. Semua kejadiannya bisa dianalisis dan apa saja bisa dihitung. Mendengar hal itu, si anak perempuan jadinya mbatin, ‘mana ada kayak yang gitu?’ Tapi dia tidak menanggapi apa-apa dan pulang ke rumah begitu rangkaian pelajarannya selesai. Esoknya, Hari Selasa, si anak perempuan terbangun dari tidurnya. Dia melihat jam dan betapa kagetnya dia karena dia terlambat bangun! Tanpa sadar si anak perempuan mulai menghitung sisa waktu yang dia punya, berapa waktu yang bisa dipakai untuk mandi, sarapan, dan perjalanan ke sekolah agar bisa sampai tanpa harus menanggung resiko terlambat.
Sambil bergegas, dia menuju ke bus sekolah. Oh, apa yang terjadi? Dia berhitung lagi! Dia melihat berapa banyak anak yang berdiri menunggu di halte, kemudian saat dia naik ke bus tanpa sadar dia menghitung berapa jumlah kursi, dan apabila dari halte yang sekarang sampai sekolah ada empat halte lagi, dengan estimasi jumlah calon penumpang yang menunggu di halte-halte tersebut sama dengan jumlah penumpang yang sekarang, apakah kursinya akan cukup? Dia menjadi khawatir saat di perhitungannya, jumlah penumpang melebihi kursi yang ada. Sampai di sekolah pun, saat di kelas, dia menghitung lagi jumlah banyak baris dan banyak kolom jejeran bangku sekolah. Dia menghitung lagi banyaknya anak perempuan dan banyaknya anak laki-laki. Jika di sekolah ini ada total 18 kelas, berarti ada sekian jumlah perempuan dan sekian jumlah laki-laki apabila diasumsikan rasio perbandingannya sama. Begitu saja terus seharian, menghitung.
Si anak perempuan ini juga menyadari kejanggalan yang dilakukannya. Mau tak mau dia teringat kata-kata guru matematikanya kemarin, bahwa semua di sekeliling kita bisa dijadikan kasus matematika. Apakah dia dikutuk gurunya karena tidak percaya? Apakah dia terkena kutukan matematika? Dia panik dan takut kalau dia akan seperti itu terus sampainya tua. Pasti sungguh melelahkan! Celakanya, hari itu tidak ada pelajaran matematika dan dia tidak bertemu dengan guru matematikanya walau sudah mencarinya. Si anak pulang sekolah, meneruskan harinya hingga ia terlelap pulas. Lelah karena seharian berhitung. Tapi layaknya buku cerita anak-anak yang selalu memberikan happy ending, si gadis kecil ini bangun di Hari Rabu keesokan harinya, dan secara magis, dia bisa menyelesaikan persoalan-persoalan matematika sesuai kemampuannya, dengan mudah.
Gue jadi kepikiran dengan fenomena math curse itu sendiri. Dimana segala hal di sekeliling kita bisa dijadikan contoh kasus matematika. Seperti misalnya, gue ini lagi duduk selonjoran di kamar kosan, dan di depan gue ada dua tumpukan buku yang tinggi tumpukannya kurang lebih sama. Apakah buku yang tersusun semuanya sama seperti 1 buku dengan belasan copy? Nggak, man-teman. Buat apa gue punya buku banyak tapi isinya sama semua? Kecuali kalo gue jualan ya, nyatanya kan enggak. Biar lebih terperinci sini gue jelasin satu-satu. Tumpukan sebelah kiri ada 6 buku cetak, ada 9 buku tulis kosong. Untuk tumpukan yang sebelah kanan ada 8 buku cetak, 1 buku tulis, dan 1 Al-Qur’an, paling atas.Berarti sebenarnya kalo mau digabungin, tumpukan kanan ditambah tumpukan kiri aja. Ada 14 buku cetak dan 10 buku tulis dan 1 Al-Qur’an. Agar lebih ringkas, angka-angka ini bisa kita rangkum di tabel, seperti:
Jenis Buku
|
Jumlah Buku
|
Buku Cetak
|
14
|
Buku Tulis
|
10
|
Al-Qur’an
|
1
|
Total Buku
|
25
|
Tabel diatas bisa dimodifikasi lagi menjadi tabel frekuensi, apabila elo penasaran berapa nilainya dalam pecahan 100, atau mudahnya berapa persen per kategori
Jenis Buku
|
Frekuensi Buku
|
Bentuk Pecahan
|
Frekuensi Relatif (%)
|
Buku Cetak
|
14
|
14/25
|
56
|
Buku Tulis
|
10
|
10/25
|
40
|
Al-Qur’an
|
1
|
1/25
|
4
|
Total Buku
|
25
|
25/25
|
100
|
Tabel frekuensi ini akan lebih menarik ketika disajikan dalam bentuk grafik. Kenapa grafik? Karena dengan melihat grafik yang tepat, menurut gue, kita bisa mengerti sesuatu dan menangkap makna dari apa yang kita pelajari lebih cepat. Karena gue lagi lapar, kita pasang saja pie chart sebagai contoh. Meski korelasinya tipis antara gue laper sama kepentingan artikel ini, mwehehehe.
See the difference?
Tabel tadi bisa lebih dikembangkan lagi hingga membentuk rangkuman deskriptif yang lebih kompleks kalau mau. Tapi kita bisa melanjutkannya di lain waktu dengan contoh yang lebih jelas tujuannya, hahahahah.
Yang gue mau sampein di sini ialah, bener banget apa yang dibilang gurunya. Dan gue, elo, kita semua bisa saja terkena Math Curse jika kita ingin mengetahui lebih pasti peluang dan resiko yang bisa terjadi pada diri kita se-sepele apapun kasusnya. Kita bisa menjabarkan informasi yang kita dapatkan, menguraikannya ke bagian-bagian kecil dan menganalisis hubungan diantaranya. Tapi apakah kita bisa langsung menjadi matematika expert, seperti anak perempuan tadi? Nobody knows, until someone actually tries… perhaps you can?